Tekno

Uji Klinis Vaksin HIV Bidik Sel-B untuk Lawan Jutaan Varian Virus

Dua dosis vaksin HIV telah membangkitkan antibodi yang menyerang virus itu di 35 dari 36 orang penerimanya, tanpa ada efek samping yang berat.

Uji klinis masih dalam tahap awal, yang didesain untuk memastikan keselamatan dan bisa-tidaknya penggunaan vaksinasi HIV.

Belum jelas apakah vaksin itu mampu secara efektif melindungi melawan HIV.

Yang jelas, berdasarkan kadar antibodi yang dipicu oleh regimen dua dosis itu, dosis penguat (booster) kemungkinan akan dibutuhkan.

HIV, atau human immunodeficiency virus, adalah virus yang menyerang sistem imun tubuh.

Infeksi virus ini meghancurkan sel-sel darah putih dan melemahkan imun seseorang terhadap infeksi lain.

Pada 2021, ada sebanyak lebih dari 38 juta orang hidup dengan HIV di dunia.

Penggunaan obat antiretroviral memang sejauh ini mampu menolong mereka mengurangi rasa sakit dan mencegah penyebaran penyakit.

Meski begitu, ada lebih dari sejuta infeksi baru yang muncul setiap tahunnya, dan banyak di antaranya tak bisa mengakses obat-obatan.

Sebuah langkah preventif menggunakan vaksinasi menjadi sangat dibutuhkan untuk meredam pandemi HIV/AIDS.

Masalahnya, mengembangkan sebuah vaksin HIV sangat sulit karena virusnya cepat sekali bermutasi menjadi galur baru, yang mampu menghindari imun tubuh.

Ada ratusan juta varian HIV yang telah dikenal menginfeksi manusia, yang masing-masing memiliki protein paku–yang membantunya menginfeksi sebuah sel–yang berbeda dan kompleks.

Membuat satu vaksin hanya berdasarkan satu varian virus dipastikan membuatnya tak efektif.

Karenanya, banyak kelompok peneliti mencari cara mengembangkan vaksinnya yang menstimulasi jenis sel imun yang disebut sel-B.

Langka ditemukan, sel-B diyakini mampu membangkitkan apa yang disebut antibodi dengan fungsi netralisir yang luas di antara varian HIV.

Tujuannya, vaksinnya nanti efektif menghadapi bagian-bagian dari virus HIV yang saling berbeda tipis antara satu galur dengan galur lainnya.

Dalam sebuah infeksi virus, hanya satu fraksi dari sel-B yang spesifik terhadap virus itu yang mungkin memicu antibodi netralisir yang luas.

Untuk infeksi HIV, melibatkan protein virus itu ke dalam sebuah vaksin mungkin mampu mengaktivasi satu fraksi sel-B itu.

Untuk mencari tahu efektivitas pendekatan ini, Juliana McElrath dari University of Washington di Seattle, AS, dan koleganya melakukan uji klinis awal di atas.

Mereka merekrut 48 relawan yang bebas dari HIV untuk menguji sebuah vaksin yang telah mereka desain, berdasarkan studi di laboratorium dan studi dengan hewan, akan menstimulasi sel-B untuk memproduksi antibodi penetralisir beragam jenis HIV.

Vaksin itu mengandung protein dari permukaan sel paku HIV, disebut gp120.

Sebanyak 36 relawan menerima dua dosis tinggi atau dua dosis rendah vaksin itu, yang disuntikkan dengan jarak dua bulan antar dosis.

Sisa 12 relawan berperan sebagai kelompok kontrol, yang menerima suntikan cairan garam.

Setelah vaksinasi, seluruh partisipan secara teratur memberikan sampel darahnya selama 16 minggu.

Hasilnya, seperti diungkap dalam laporan yang dipublikasi di Jurnal Science 2 Desember 2022, dari mereka yang menerima vaksin dosis rendah ataupun tinggi, 97 persennya memiliki antibodi yang dimaksud pada akhir masa studi.

Kadar antibodi-nya boleh dibilang sama di seluruh partisipan yang menerima vaksin dosis rendah maupun tinggi.

Sedang di antara 12 partisipan yang menerima cairan garam, dua di antaranya juga memiliki antibodi HIV.

Kenapa itu bisa terjadi masih belum sepenuhnya bisa dijelaskan.

Salah satu kemungkinannya adalah keduanya memiliki kekebalan alami melawan HIV.

Dari seluruh partisipan, termasuk mereka yang menerima suntikan air garam, 98 persen mengalami efek samping ringan, seperti mudah lelah, sakit kepala dan terasa sakit di lokasi suntikan.

“Makalah ini menggambarkan respons imun sel-B terbaik dari vaksinasi HIV yang pernah saya lihat,” kata Gary Kobinger di University of Texas, yang tak terlibat dalam studi uji klinis vaksin HIV tahap awal itu.

Namun, Kobinger menambahkan, vaksin belum ditunjukkan apakah mampu melindungi melawan infeksi HIV.

Juga, berdasarkan kadar antibodi yang dipicu, lebih dari dua dosis kemungkinan diperlukan untuk mencegah infeksi itu.

Pendekatan ini mungkin pula menolong pengembangan vaksin-vaksin atas jenis virus yang bermutasi cepat, seperti flu dan covid.

“Bisa menjadi satu perangkat baru dalam senjata vaksinologis untuk melawan virus-virus dengan tingkat mutasi tinggi,” kata Kobinger.

NEW SCIENTIST, AAAS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *